welcome to princess palace


Get your move for world better
now and forever

Minggu, Oktober 31, 2010

Potret Memilukan Cikal Bangsa

Oleh: Putri Hana

Indonesia mengalami banyak perubahan di berbagai sektor, terdapat beberapa kemajuan di beberapa titik. Media mewartakan riuhnya kehidupan para eksekutif negara, wisata pasangan bagi selebritis, keberhasilan bola menjebol gawang, morat-maritnya calon pemimpin, sensasional kriminalitas atau tren tidak jelas. Tapi di pojok beton berlumut, di antara kerumunan orang mempestaporakan harga, di balik tirai aroma ikan bakar, ada sekelompok anak-anak tidak tahu-menahu berdiri. Mengharap belas kasih yang disertai beberapa receh.

Ditilik dari usianya, mereka sepantasnya berada dalam balutan seragam merah putih, belajar menghitung di rumah, saling mengejar prestasi di sekolah dan bercanda dalam sebuah kehangatan. Tetapi tidak bagi mereka yang mengernyit lelah. Mereka berlari-lari di antara panas dan hujan mengejar para pengiba. Mereka tersedu dalam kaleng-kaleng kosong.

Bagaimana wajah Indonesia maju jika potret kecil demikian tertutupi dengan isu koalisi partai? Bagaimana caranya kaki-kaki kecil itu menjadi harapan bangsa? Sesungguhnya dimana hati pengiba? Apakah mereka memberi sekedar tak ingin dikejar dan diganggu? Setelahnya rasa iba itu berganti dengan meeting, liburan dan belanja bulanan.

Begitulah nasib para tunas bangsa, tidak diperhatikan lagi. Mereka dibiarkan meronta kekeringan dijalanan. Meminta seberkas kehidupan kepada orang-orang yang lewat. Memelas di beberapa depan toko atau rumah makan. Beberapa diantaranya menggendong anak kecil untuk menimbulkan rasa iba. Mereka seolah tidak menikmati kehidupan sebenarnya. Mereka hanya tahu betapa susahnya mendapatkan sesuap nasi.
Entah darimana mereka? Dimana mereka tinggal? Tidak ada yang tahu pastinya. Ketika ditanya, mereka memilih diam atau mengalihkan pembicaraan. Di onak mereka hanya upaya agar tangan kosongnya yang mengadah berisi beberapa peser rupiah.
Wajahnya berdebu, pakaiannya kumal dan sobek dimana-mana. Tangannya mengadah ke atas sambil membawa cepuk bekas tempat sabun. Mereka menunggui setiap yang keluar dari rumah makan. Dan terus menunggui walau telah diacuhkan kecuali telah benar-benar menjauh dari tempat itu.

Kepedihan mereka sulit ditebak, terkadang mereka tertawa sesamanya mengurangi rasa galau. Ketika incaran telah nampak mereka bertebaran bergerombol mengadahkan tangan. Jika pupus, mereka bersenandung nyanyian tidak jelas untuk mengatasi kebosanan.

Anehnya mereka seperti melakukan tugas yang komando seseorang. Pasalnya keberadaan mereka tiba-tiba yang dengan begitu mudahnya dan banyaknya melakukan kerja. Siapa yang mengajari mereka? Hal ini yang menjadi dilema, baik anak tersebut maupun pengiba dibayang-bayangi lakon utama di balik pentas peminta-minta.
Pemerintah harus tanggap dengan kondisi kecil ini. Sebelum menjadi virus tak terobati menular kemana-mana. Aparatur negara dapat menjadikannya topik tersendiri dalam rapat-rapat penting. Mereka adalah aset bangsa yang memerlukan penanganan langsung secara serius.

Di beberapa kota sudah ditetapkan peraturan prihal pekerjaan meminta-minta. Mereka yang terjaring dikembalikan ke asalnya, ada yang diberdayakan dan ada yang luput kemudian beroperasi santai di depan toko-toko dan rumah makan. Meskipun mereka tidak mengetuk mobil pemilik orang-orang berkantung lagi, mereka tetap sama saja melakukan pekerjaan yang sama. Lalu bagaimana dengan belahan Indonesia yang lain? Begitu banyak tanya yang ingin di lontarkan untuk mereka.

Apa yang dilakukan orang diluar itu? Apakah itu pemerintah, pengusaha, media atau masyarakat sosial yang menyaksikannya. Hanya lalu lalang mengabaikannya. Apakah yang dilakukan pemerintah itu hanya sekedar tak ingin pintunya di ketuk gelandangan dan mendengar suara cempreng bergemerincing koin memekak telinga? Setelah jalan besar yang dilewatinya aman, ia tidak peduli. Benarkah yang lalu itu hanya membentuk paradigma untuk kepentingan lain?

Pemerintah baiknya membentuk suatu tim khusus yang menangani hal ini secara profesional. Tim ini melakukan penjaringan ke seluruh wilayah tanpa terkecuali. Anak-anak yang tersebut didata dan diusut tuntas asal-usulnya. Lakukan wawancara eksklusif untuk mengetahui masalah mereka karena semua ada untuk dibicarakan. Ikut sertakan psikolog untuk menguatkan nilai hidup mereka. Kembalikan ke keluarganya setelah diberi pengarahan berarti. Jika tidak memungkinkan ( tidak memiliki keluarga lagi) mereka diberdayakan sesuai hasil wawancara. Bisa saja mereka disekolahkan atau dibekali keterampilan dengan orang-orang berkompeten. Yang terpenting adalah kontrol proses dan hasil dari usaha ini.

Pengusaha, media dan masyarakat sosial lainnya juga harus turut berperan aktif. Mereka dapat menjadi donatur, pengajar, informan demi transparansi (ini penting dimana orang akan merasa di hargai), dan banyak lagi hal kebajikan lainnya. Mereka dapat saling membahu dengan pemerintah demi peradaban bangsa selanjutnya yang mungkin berada di tahta-tahta anak kurang beruntung ini.

Kita tidak bisa menutup mata dari semua ini. Kalau kita tidur di kasur empuk. Lalu dimanakah tubuh berbaju penuh debu itu tidur? Kalau kita makan teratur tiga sehari atau mandi dua kali sehari. Apakah pemilik suara cempreng pembawa alat musik dari tutup botol itu pernah memikirkan dan melakukan semua itu? Saatnya sekarang kerja sama bukan sekedar kerja keras tak berarah.


Tidak ada komentar: