Oleh: Putri Hana
Di abad 21 ini, Indonesia ditantang untuk mendongkrak status sebagai negara berkembang. Meskipun secara fisik negara Indonesia bercorak agraris namun logikanya mampu menjadi pusat perekonomian dunia. Sumber daya alamnya yang melimpah ruah tersebar di setiap kepulauan. Belum lagi kondisi geografi yang menguntungkan. Setiap tahunnya sekitar 50.000 kapal melayari celah sempit Selat Malaka, sepertiga diantaranya merupakan armada tanker minyak dunia.
Selain itu, Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng dunia yaitu Lempeng Australia, Lempeng fasifik dan Lempeng Eurasia yang selalu bergerak menumbuk. Akibat tumbukan itu terbentuk palung samudra, lipatan, punggungan dan patahan di busur kepulauan, sebaran gunung api dan gempa bumi (tsunami jika sumber berasal dari dasar laut). Kondisi ini membuat banyaknya pelapukan yang bersifat subur, sumber panas bumi, sedimen (sedimentary basin) penghasil minyak, kombinasi cekungan laut celuk (deep sea) dan laut dangkal.
Keberadaan kepulauan Indonesia di antara dua samudra menyebabkan pertukaran air dengan debit yang besar. Variasi topografi dasar laut juga mengakibatkan banyaknya lokasi upwelling, air laut dalam yang dingin dan kaya dengan nutrien untuk makanan ikan. Begitu juga spesies terumbu karang yang beragam memenuhi sebagian besar laut Indonesia. Posisi pulau-pulau yang dilalui garis khatulistiwa menimbulkan perolehan aliran air laut dan udara yang baik serta tingginya curah hujan.
Indonesia sangat beruntung dengan segala kekayaan akan potensi alam. Memiliki banyak peluang dalam menghasilkan profit bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, Indonesia justru digerogoti kemiskinan, kebodohan, masalah kesehatan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Melihat kondisi kekayaan alam tersebut, setidaknya sistem yang berjalan di Indonesia mampu memenuhi segala kebutuhan masyarakat. Walaupun belum bisa dikategorikan negara maju.
Kita dapat melihat tataran Indonesia mulai dari masyarakat, perusahaan, pemerintah dan media. Masyarakat yang terlunta, perusahaan yang menang sendiri, pemerintah gembong korupsi dan media yang kehilangan berita. Jangan heran jika kondisi Indonesia seperti ini, karena hanya sebagian kecil orang yang mau memikirkan nasib bangsa ke depannya. Yang lain sibuk urusan masing-masing untuk meperkaya diri. Jika posisi Indonesia terancam barulah berkoar sikut sana sikut sini menyalahkan orang lain. Bahkan ada yang apatis. Sungguh miris dan mengerikan. Inilah yang disebut pengkhianat kemerdekaan. Inilah Indonesia yang malang. Persatuan, kesatuan dan bersatu hanya sekedar kata yang berdiri satu-satu. Sekedar label mencari aman.
Namun generasi telah berubah, begitu pula pemikiran mereka. Keprihatinan akan nasib bangsa ini mulai dilirik. Semakin memuncak seiring banyaknya masalah silih berganti. Namun pemikiran-pemikiran itu hanya menjadi milik perseorangan, kelompok atau organisasi tertentu saja. Seharusnya atas dasar persamaan rasa ini, Indonesia harus bangkit. Para pemikir duduk bersama mencari solusi dan segera merealisasikannya. Melakukan sebuah perubahan memang tidaklah mudah. Namun, jika sebuah komitmen dibangun sedari awal maka tidak ada kata sukar lagi. Teladan yang baik dalam usaha ini adalah perjuangan dalam merebut kemerdekaan, bukan sekedar materi tetapi banjir darah. Seyogyanya dipersiapkan generasi sekarang untuk masa depan yang gemilang.
Pengklasifikasian negara menurut kondisi sosial ekonomi telah mengekang banyak pikiran. Keinginan menjadi negara maju selama ini selalu dibayang-bayangi standarisasi berdasarkan negara maju yang sudah ada. Tetapi lihatlah Indonesia lebih luas dan dalam. Indonesia dapat menggunakan analogi demokrasi; dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kalau Indonesia memiliki banyak potensi maka tidak ada salahnya jika Indonesia pula yang mengelolanya untuk Indonesia sendiri. Mengelola dalam hal ini bukan langsung memblokade dengan melakukan nasionalisasi ekonomi. Secara bertahap, Indonesia memanajemeni semua sektor dan roda perputaran yang terkait di bawah pengawasan penuh Indonesia.
Ada faktor-faktor yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya yakni pendidikan, ekonomi, sosial budaya, kesehatan, politik dan keamanan yang memiliki keterkaitan satu sama lain dan saling membangun. Satu dengan lainnya saling mempengaruhi dan sama besar. Jika salah satunya tidak ada maka terjadi kepincangan-kepincangan sebagai bentuk awal sebuah kehancuran. Sehingga perlunya seluruh lapisan masyarakat Indonesia mengevaluasi faktor-faktor ini, mengidentifikasi, mendiskusikasikan dan segera memperbaikinya.
Sebuah gagasan yang sangat lucu. Indonesia sangat mempertahankan budayanya yang masih sangat kental, seperti adat istiadat, pola kehidupan dan pemikiran. Paham-paham masyarakat seperti ini terutama di pedalaman selalu turun temurun. Kelaziman di luar sana menjadi ancaman besar bagi mereka. Di sisi lain, Indonesia hendak bertransformasi. Sedang masalah kependudukan, tata ruang dan budaya seperti ini sukar diterima. Sementara itu, Indonesia juga bermaksud menjadikan budaya demikian aset bangsa yang harus dijaga sebelum UNESCO mengumumkan sebagai warisan dunia dari Indonesia. Inilah masalah yang sukar dijawab.
Di beberapa bagian, mahasiswa sebagai pemuda yang mengatasnamakan agent of change marak menyuarakan nasionalisasi ekonomi. Memang Indonesia tidak akan pernah leluasa menikmati kekayaannya jika tambang-tambang utama menjadi milik investor. Belum lagi kecurangan yang dilakukan pihak investor dengan oknum-oknum tidak bertanggung jawab dari Indonesia sendiri. Jika nasionalisasi ekonomi secara menyeluruh terlalu berat karena tidak seimbangnya sumber daya manusia pengelolanya, setidaknya ada negoisasi ulang. Seiring dengan usaha itu, Indonesia bisa menyeleksi secara ketat sarjana pengangguran untuk dipekerjakan.
Selayaknya pula, Indonesia memikirkan resiko-resiko kondisi geografinya untuk menekan pengeluaran negara. Struktur geografi yang menguntungkan harus disertai usaha-usaha infrastruktur yag memadai. Sebagai contoh, wilayah yang rawan terkena gempa harus memperhatikan aturan-aturan mendirikan bangunan dan material yang dipergunakan. Tidak luput pula, tata ruang kota yang teratur. Pembagian daerah industri dan kediaman masyarakat turut diatur. Termasuk di dalamnya instalasi listrik , telepon, air dan sanitasi serta layanan umum lainnya.
Satu lagi yang sama krusialnya, yaitu mengenai impor dan ekspor. Indonesia jangan termakan harga selangit untuk menjual semua bahan mentahnya. Lagi pula impor barang jadi dari hasil ekspor bahan mentah tadi memiliki nilai barang yang beratus kali lipat. Sebenarnya Indonesia dapat mengusahakan untuk memproduksi barang sendiri. Namun selalu berdalih modal dan sumber daya manusia. Jika mau, tidak akan susah. Diketahui bersama, perairan Indonesia merupakan trayek pelayaran kapal-kapal perdagangan. Indonesia dapat mempertegas beacukai dan batas-batas wilayah. Dan justru mendenda kapal-kapal yang curang dengan bea yang berlipat agar ada efek jera. Selain itu, kapal-kapal asing perompak ikan yang ditangkap menjadi milik Indonesia, kecuali memiliki izin yang kredibilitasnya diakui.
Menjadi negara yang setara wilayah utara garis hitam (negara maju) bukan impian lagi. Bahkan Indonesia dapat melakukannya lebih dari itu, mengingat sumber daya alam yang melimpah. Indonesia bisa membenahinya dari sekarang. Restruktur besar-besaran dilakukan secara total. Peraturan diberlakukan secara tegas dan mengikat. Setiap sistem ditinjau ulang, diperbaiki dan diganti jika diperlukan. Sekali lagi, memang butuh perjuangan besar untuk hasil yang memuaskan. Sehingga dibutuhkan semangat 45 untuk merebut kemajuan Indonesia.
Dan sebuah paradigma baru terbentuk, raksasa ekonomi akan beralih ke wilayah Asia. Kesempatan besar bagi Indonesia untuk memanfaatkan peluang ini. Masih ada waktu yang banyak untuk melangkah lebih maju. Sumber daya alam harus segera diberdayagunakan secara optimal. Sedikit demi sedikit masalah kependudukan diatasi. Rakyat dilatih untuk berproduksi mandiri. Kualitas hidup masyarakat ditingkatkan. Filtrasi dan pembatasan dalam ekspor bahan mentah dilakukan. Fasilitas umum disediakan dengan lengkap. Penegakan aturan, hukum dan keamanan. Sistem pendidikan menyeluruh dan penanganan kesehatan yang baik. Yang terpenting adalah sistem monitoring sampai wilayah pelosok. Kedengarannya perubahan ini sangat ideal, namun Indonesia pasti bisa melewatinya selama semangat 45 terus membara di dada para generasi.
Mengatur perbahan kompleksitas hidup tidaklah mudah. Apalagi menyangkut kehidupan orang banyak beserta wilayah-wilayah yang tak dapat ditebak. Ujung tombak dari perubahan ini adalah pemimpin negara bukan pimpinan negara. Seorang pemimpin harus bisa mempengaruhi rakyatnya untuk melakukan perjuangan-perjuangan demi tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan. Ia harus tegas dan memposisikan dirinya sebagai pemimpin walau ada dalih pemimpin juga manusia. Memang ia juga manusia, tetapi manusia terpilih yang harus bersikap unggul. Dan ia adalah orang pertama yang harus bersentuhan dengan lawan-lawan main di dunia luar. Ia adalah instruktur tunggal dalam pengawasan kerja tim dan pemberlakuan hukum tanpa melihat latar belakang.
Tidak serta merta demikian, Indonesia akan mengumumkan pada dunia mengenai perubahan sikap. Inilah hak Indonesia menentukan sikap. Jika ada yang bermasalah, jalan negoisasi tidak mulus, maka tidak ada keraguan untuk mengankat senjata menegarkan batas-batas wilayah merah putih. Indonesia berani tak takut mati untuk kemerdekaan suci. Namun semua akan sia-sia jika tidak ada budaya konfirmasi, koordinasi atasan dan bawahan.
MENCARI KARUNIA RABB DI BUMI-NYA YANG LUAS Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan sebaik-baiknya. Menjadi khalifah bumi dan melawan kebatilan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Luruskan niat! Tantang dunia dan Bangun peradaban!Allah bersamamu.....keep ISTIQOMAH
welcome to princess palace
Get your move for world better now and forever
Minggu, Oktober 31, 2010
Optimalisasi Sumber Daya Indonesia dengan Perjuangan Perubahan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar