Oleh: Putri Hana
Tidak ada hari libur dalam kalender kehidupan ini. Setiap waktu merupakan kesempatan besar untuk memperoleh setetes ilmu. Baik didapatkan lewat retorika dosen maupun orasi semangat berbagai organisasi. Semua itu demi kemajuan bangsa yang semakin tenggelam dalam lautan kebodohannya di mata elit dunia.
Kita dihadapkan pada wahana masyarakat dengan latar belakang warna suku, ras, agama dan tradisi yang berbeda-beda. Kadang kala warna itu bertolak belakang satu sama lainnya. Belum lagi amanah mewadahi pergaulan dilematis warna budaya yang terus menuntut. Kita sendiri pun bingung mengambil sikap atas kenyataan-kenyataan itu.
Sedih rasanya melihat moral-moral anak bangsa berlabel intelek mewariskan kebiasaaan-kebiasaan buruk seperti menyontek, menunda-nunda, menganggap remeh segala sesuatunya dan tidak tahu lagi berpakaian yang benar. Mereka mendewakan mode, style, party dan trend sehingga lupa kalau dirinya seorang manusia.
Berawal dari kondisi miris demikian, perlu adanya “pemaksaan” serius. Apabila tidak, mau tidak mau manusia-manusia Indonesia akan mengalami seleksi alam dan harus tersingkir dalam permainan kehidupan. Namun, resiko itu dapat diminimalisir dengan sebuah opsi besar. Opsi besar yang membutuhkan kerja sama semua elemen bangsa yaitu mengubah sistem pendidikan.
Dunia pendidikan selalu menjadi rumor mengepul di masyarakat. Mereka terus mencari pola-pola ideal pendidikan bagi anak- anak dan keluarganya. Mereka menginginkan anaknya mengenyam pendidikan dengan pembelajaran terbaik pada bidang kompetensinya tanpa pengecualian financial. Namun impian itu tidak lebih dari sekedar harapan, banyak anak-anak menjual suara cemprengnya demi uang receh. Seringkali anak-anak diperalat sebagian orang untuk kepentingan pribadi penjilat-penjilat kota. Bahkan anak-anak tersebut tidak tahu harus berbuat lagi. Untuk membayangkan sekolah pun mereka seperti pungguk merindukan bulan. Dan jiwa pesimis demikian telah tumbuh dengan sendirinya mengikuti fragmen pribadi yang memigurinya bertahun-tahun.
Elemen masyarakat dan pemerintah kurang memahami dengan baik esensi pendidikan. Padahal pendidikan hanya menginginkan manusia sadar pada posisinya sebagai manusia yakni manusia yang memiliki karakter unik, keegoisan dan perbedaan mencolok satu sama lainnya; manusia yang membutuhkan partisipasi orang lain baik fisik maupun pikirannya; dan manusia membutuhkan keteguhan hati, ketenangan dan nilai tanggung jawab besar terhadap Pencipta alam semesta.
Dalam interaksi yang penuh intrik dilema, manusia haus akan ilmu dan spiritual. Satu paket kebutuhan mutlak yang tidak dapat dipisahkan. Ketika dua hal tersebut terpisah, kebenaran akan status manusianya perlu dipertanyakan. Namun jika itu terpenuhi maka setiap pribadi akan sadar pada posisinya sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk Tuhan.
Kembali kita melihat tataran pendidikan Indonesia yang cenderung pada salah satu sisi kebutuhan saja. Ada elemen pendidik yang sengaja menonjolkan pada sisi ilmunya saja dan diantaranya ada yang menenarkan sisi spiritualnya saja. Meskipun ada yang mencoba menyeimbangkan keduanya, masih banyak masyarakat awam dan pemerintah gelap mata menjadi penghalang niat mulia itu.
Sekolah- sekolah dan universitas yang ada terlalu kaku dengan doktrin pemerintah akan pendidikan formalnya. Akibatnya, banyak didikan merasa terbatas dalam melanglang buana pengetahuan. Di sisi lain, orang-orang yang memasuki gedung-gedung pencetak intelek hanya teruntuk pada pemilik kantong tebal. Sementara yang lain mengharap bintang jatuh menghampirinya.
Pemerintah tidak peka terhadap konflik sosial masyarakat yang merembes pada masalah pendidikan. Mereka tidak bisa menjinakkan bom kapitalisme yang merenggut kesempatan banyak orang. Mereka seakan tutup telinga akan tangis anak-anak kelaparan. Mereka membisu dan buta menyaksikan teriakan pilu seorang anak bersikeras ingin sekolah. Dan parahnya kaum elite itu tidak bisa memahami masyarakat awamnya untuk dicerdaskan.
Sementara banyak pula masyarakat yang tidak peduli terhadap pendidikan karena keterbatasan ilmunya. Oleh karena itu, setiap individu harus menyadari posisi dirinya masing-masing sebagai manusia yang sebenarnya. Menyadari betapa pentingnya koreksi diri terhadap kualitas pendidikan Indonesia. Dan pemerintah harus turun tangan langsung untuk memahamkan arti pendidikan yang sesungguhnya itu.
Pemerintah dapat segera memanusiakan rakyatnya dengan mengeluarkan undang-undang sistem pendidikan bertataran baru. Adapun sistem itu menitikberatkan pada resultan kualitas dan kuantitas per kompetensi individu. Di dalamnya terdapat teamwork yang beranggotakan pakar-pakar manajemen pendidikan. Tiap pakar dengan subdivisi bidangnya membawahi operator-operator pendidikan. Operator pendidikan ini langsung menangani masalah-masalah pengarah didikan yang telah ditentukan partisi-partisinya berdasarkan dimensi kesepakatan sebelumnya. Pengarah didikan dapat berupa tutor, forum, sekolah, universitas dan instansi pendidikan terkait lainnya. Dengan demikian jalannya pendidikan terkontrol dengan baik.
Selain itu, pemerintah harus menyiapkan opsi lain untuk memberdayakan orang-orang yang enggan sehingga semua kompetensi per individu dapat dikembangkan sesuai minat, bakat dan kemauannya. Sekarang saatnya kita melihat pahlawan pemberani melaksanakan ide ini. Ide yang membuat bangsa lain mempertimbangkan keberadan Indonesia. Sehingga kepincangan sumber daya alam dan manusia Indonesia dapat diminimalisir. Siapakah pahlawan itu? Pemuda!
MENCARI KARUNIA RABB DI BUMI-NYA YANG LUAS Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan sebaik-baiknya. Menjadi khalifah bumi dan melawan kebatilan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Luruskan niat! Tantang dunia dan Bangun peradaban!Allah bersamamu.....keep ISTIQOMAH
welcome to princess palace
Get your move for world better now and forever
Minggu, Oktober 31, 2010
Indonesia Harus Memanusiakan Rakyatnya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar